Minggu, 10 April 2011

analisis puisi 2




ANALISIS PUISI SUBAGYO SASTROWARDOYO
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Akhir
Mata Kuliah Pengkajian Puisi
Dosen Pengampu: Drs. Adyana Sunanda, M. Hum









Disusun Oleh:
Yakub Priyono
A 310080069

PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA DAN DAERAH FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2010

BAB I
   PENDAHULUAN

Karya sastra secara umum bisa dibedakan menjadi tiga yaitu puisi, prosa, dan drama. puisi adalah karya sastra yang kompleks pada setiap lariknya mempunyai makna yang beragam. Puisi merupakan suatu karya sastra yang mewakili makna yang tersirat dari ungkapan batin seorang penyair sehingga setiap kata atau kalimat tersebut secara tidak langsung mempunyai makna yang abstrak sehingga memberikan imajinasi terhadap para pembaca. Kata-kata yang terdapat dalam puisi dapat membentuk suatu bayangan bagi pembaca.





















Tugas Akhir
Mata Kuliah Pengkajian Puisi
Dosen Pengampu: Drs. Adyana Sunanda

NAMA           :YAKUB PRIYONO
NIM                :A 310080069
KELAS          :B

ANALISIS PUISI SUBAGYO SASTROWARDOYO


1.      Analisis Puisi Dengan Pendekatan Struktural

Nawang Wulan
Jangan bicara denganku dengan bahasa dunia
Aku dari sorga
Jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa
Aku dari sorga

Sambut aku dengan bunga
Itu darah dari duka dan cinta
Bunga buat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya
Bunga buat kekasih yang manis merindu
Bunga buat maut yang diam menunggu

Tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu
Tapi jaga ladang yang baru sehari digaru
Anak minta ditimang
Ladang minta digenang
Lalu panggil aku turun di teratakmu

Dengan bunga. Itu darah yang mengalir
dari duka dan cinta


Analisis puisi dengan pendekatan struktural:

Pendekatan struktural yaitu suatu cara pencarian terhadap suatu fakta yang sasarannya tidak hanya ditunjukkan pada salah satu unsur sebagai individu yang berdiri diluar kesetuannya, melainkan ditunjukkan pula pada hubungan antara unsurnya. (Nurgiyantoro, 2002;37)

A.  Diksi (pilihan kata)
Diksi merupakan pemilihan kata yang tepat, padat dan kaya akan nuansa makna dan suasana sehingga mampu rnengembangkan dan mempengaruhi daya irnajinasi pembaca (Fajahono. 1990: 59).

Dalam puisi “Nawang Wulan” disamping, terdapat beberapa pilihan kata yang digunakan oleh pengarang yang sangat sederhana seperti yang dapat dilihat dalam puisi tersebut. Kata-kata yang digunakan oleh penyair mudah dipahami. Seperti yang ada pada bait ketiga di baris yang pertama yaitu,”Tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu”.

Dalam menggunakan kata-kata itu, pembaca akan lebih mudah mengetahui makna sebenarnya dalam puisi tersebut, begitu pula pada kata-kata dalam puisi itu di bait ketiga baris ketiga ”Anak minta ditimang” , kata yang digunakan adalah kata dengan makna sebenamya.

Sambut aku dengan bunga
Itu darah dari duka dan cinta
Bunga buat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya
Bunga buat kekasih yang manis merindu
Bunga buat maut yang diam menunggu

Kata-kata yang digunakan dalam kalimat puisi di atas juga menggunakan kata-kata yang mengandung perumpamaan, ini bisa dilihat jelas pada kata “Sambut aku dengan bunga, Itu darah dari duka dan cinta". bait pertama dan  ketiga juga menggunakan makna perumpamaan.

B.   Pengimajian (citraan)
Pengimajian adalah kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman seperti penglihatan, pendengaran dan perasaan. Pada puisi “nawang wulan'' pengimajian yang digunakan oleh pengarang terdapat pada:

1.  Citraan Penglihatan
Citraan ini terdapat pada bait kedua dibaris yang kedua, “Itu darah dari duka dan cinta”, dan "Bunga buat bayi yang baru lahir dari rahim ibunya".

  2.  Citraan Pendengaran
Citraan ini terdapat pada bait pertama dibaris pertama yaitu, “Jangan bicara denganku dengan bahasa dunia", dan pada bait ketiga dibaris yang kelima yaitu, "Lalu panggil aku turun di teratakmu". Serta terdapat pada bait ketiga dibasir yang pertama yaitu,”Tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu”.

  3.  Critaan perasaan
Citraan ini terdapat pada bait kedua baris kedua dan keempat yaitu Itu ”darah dari duka dan cinta” dan "Bunga buat kekasih yang manis merindu”.

C.  Kata Konkret
Kata konkret adalah kata-kata yang dapat menyarankan kepada arti yang menyeluruh. Pengonkretan kata berhubungan erat dengan pengimajinasian, pegembangan dan pengiasan. Pada puisi “nawang wulan” kata konkret terdapat pada bait ketiga yaitu:
Tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu
Tapi jaga ladang yang baru sehari digaru
Anak minta ditimang
Ladang minta digenang
Lalu panggil aku turun di teratakmu

D.  Bahasa Majas
Majas adalah bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang biasa, yaitu suara yang langsung mengungkapkan makna. Pada puisi “nawang wulan” majas yang digunakan:
1.    Majas Metafora
Majas metafora adalah bahasa kiasan yang menyamakan satu hal dengan hal lain tetapi tidak menggunakan kata-kata pembanding. Pada puisi “nawang wulan” terdapat pada bait kedua baris pertama, Sambut aku dengan bunga”. Di mana dalam puisi itu penyair menyatakan bahwa bunga dinyatakan sebagai kebahagiaan.
  1. Personifikasi
Majas personifikasi adalah bahasa kiasan yang mempersamakan benda dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir dan sebagainya seperti manusia. Pada puisi “nawang wulan” majas personifikasi terdapat pada bait kedua baris kelima yaitu, Bunga buat maut yang diam menunggu, dimana penyair menyamakan bunga seperti benda hidup yang menuggu maut, padahal bunga adalah tumbuhan yang tidak bisa kemana-mana.

E.  Rima
 Rima Rima  pengulangan bunyi dalam puisi. Di dalam puisi “nawang wulan” rima terdapat pada bait pertama yaitu:
Jangan bicara denganku dengan bahasa dunia
Aku dari sorga
Jangan sentuh tubuhku dengan tubuh berdosa
Aku dari sorga

F.  Struktur Batin
1. Tema
merupakan gagasan pokok yang dikemukakan oleh penyair. Pada puisi “nawang wulan“ penyair menggunakan tema moral, karena pada puisi itu penyair mengungkapkan bahwa seorang ibu yang melahirkan itu tidak mudah hingga sampai mengorbankan semua yang dimiliki termasuk nyawanya, dan betapa susah payahnya dia ketika membesarkan seorang anak.
2. Perasaan (Feeling), suasana perasaan sang penyair yang diekspresikan dan harus dihayati oleh pembaca. Pada puisi “nawang wulan” sang penyair merasa sedih karena dalam puisi tersebut penyair nengungkakan semua penderitaan yang dialami oleh seorang ibu ketika melahirkan.
3.      Amanat (pesan)
Amanat merupakan hal yang mendorong penyair untuk menciptakan puisinya.
Pada puisi "nawang wulan" amanat yang terkandung yaitu : pesan moral, yaitu sudah sepantasnya seorang anak berbakti dan menghormati terhadap orang tuanya, terlebih kepada ibunya yang ketika melahirkan tidak mudah hingga sampai mengorbankan semua yang dimiliki termasuk nyawanya, dan betapa susah payahnya dia ketika membesarkan seorang anak.


II.  Analisis Puisi Dengan Pendekatan Semiotik

Daerah Perbatasan
I
Kita selalu berada di daerah perbatasan
antara menang dan mati. Tak boleh lagi
ada kebimbangan memilih keputusan:
adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.
Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,
Juga kehormatan bagi manusia
dan keturunan. Atau kita menyerah saja
kepada kehinaan dan hidup tak berarti.
Lebih baik mati. Mati lebih mulia
dan kekal daripada seribu tahun
terbelenggu dalam penyesalan.
Karena itu kita tetap di pos penjagaan
atau menyusup di lorong-lorong kota pedalaman
dengan pistol di pinggang dan bedil di tangan.
(sepagi tadi sudah jatuh korban.) hidup
 menuntut  pertaruhan, dan kematian hanya
menjamin kita menang. Tetapkan hati.
Tak boleh lagi ada kebimbangan
di tengah kelaliman terus mengancam.
Taruhannya hanya mati

Analisis puisi Daerah Perbatasan dengan pendekatan semiotik:

Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari tentang sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. (Pradopo, 1995 : 119).

Puisi ini menceritakan atau menggambarkan suasana perjuangan untuk memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan demi mempertahankan keormatan bagi manusia. Mereka hanya dihadapkan dengan dua pilihan antara berjuang untuk merdeka atau dijajah lagi. Hal tersebut yang harus mereka pilih. Tidak ada piliahan lain selain dua pilihan itu. Kalau mereka memilih berjuang untuk merdeka, sedidaknya ada harapan untuk merdeka meskipun mereka harus mati tetapi matinya itu akan lebih mulia dan kekal daripada seribu tahun terbelenggu dalam penjajahan. Oleh sebab itu mereka tetap berjuang, melawan penjajah dengan menyusup di lorong-lorong pinggiran kota dengan senjata yang mereka bawa meskipun kematian terus menghadang perjuangan mereka.

Di dalam puisi tersebut penyair seolah-olah menceritakan atau menggambarkan suasana perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari penjajah. Demi mempertahankan kehormatan bagi manusia, mereka (para pejuang) harus memilih dua pilihan, yaitu antara berjuang untuk merdeka atau dijajah lagi. Dua hal tersebut yang harus mereka pilih. Kalau memilh berjuang untuk merdeka, setidaknya ada harapan untuk merdeka meskipun taruhannya adalah nyawa mereka, kan tetapi matinya itu akan lebih mulia dan kekal daripada seribu tahun terbelenggu dalam penjajahan. Oleh sebab itu mereka tetap berjuang dengan menyusup di lorong-lorong pinggiran kota dengan senjata yang mereka bawa meskipun nyawa taruhannya.

Dalam puisi ini banyak terdapat kepaduan antara unsure-unsurnya. Suasana yang berpadu dengan peristiwa saat itu yang menggambarkan perjuangan untuk melawan penjajah. Dengan suasana perjuangan yang begitu mencekam, meresahkan, bahkan sangat menakutkan soalah-olah mereka berhadapan dengan kematian. Kemudian didukung latarnya yang begitu jelas mengisahkan betapa sengsaranya mereka berjuang untuk melawan penjajah. Mereka harus berjaga di pos penjagaan, menyusup di lorong-lorong pinggiran kota hanya dengan senjata seadanya. Hal itu digambarkan Subagyo pada baris ke 4sampai 8 dan pda baris ke 12 sampai 14.

adakah kita mau merdeka atau dijajah lagi.
Kemerdekaan berarti keselamatan dan bahagia,
Juga kehormatan bagi manusia
dan keturunan. Atau kita menyerah saja
kepada kehinaan dan hidup tak berarti.
…………………………………...
…………………………………...
Karena itu kita tetap di pos penjagaan
atau menyusup di lorong-lorong kota pedalaman
dengan pistol di pinggang dan bedil di tangan.

Subagyo melukiskan perjuangan itu dengan menggambarkan latar yang begitu memprihatinkan, berada di pinggiran kota, di pedalaman karena kotanya sendiri telah diduduki oleh para penjajah. Penyair juga menggambarkan saat itu mereka harus berjuang, karena tidak ada pilihan lain selain berjuang itu. Karena kalau menyerah mereka akan selamanya terjajah dan hidup dalam kehinaan.

Kita selalu berada di daerah perbatasan
antara menang dan mati. Tak boleh lagi
ada kebimbangan memilih keputusan:
……………………………………
……………………………………
………... Atau kita menyerah saja
kepada kehinaan dan hidup tak berarti.

Penyair (Subagyo) lebih menekankan arti dari puisi itu sebagai bentuk perjuangan, dimana mereka harus tetap berjuang mempertahankan kemerdekaan melawan penjajah agar hidup mereka bebas dan dapat mempertahankan kehormatan. Karena mereka tahu kalaupun tidak dilawan, para penjajah itu akan semakin membabi buta, menyiksa dan hidup mereka akan semakin sengsara.

Selain itu dalam puisi diatas, untuk pemilihan kata-kata dan bunyi kata itu sendiri saling mendukung makna puisi tersebut, diantaranya yaitu: kebimbangan, keselamatan, kehinaan, penjagaan, pedalaman, pertaruhan, kematian, kebimbangan, dan kelaliman yang semua itu dapat mendukung suasana yang penuh dengan kesengsaraan dan penderitaan.

Kesengsaraan dan penderitaan dari sebuah penjajahan membuat mereka (para pejuang) bertekad untuk mempertahankan kemerdekaan. Mereka bertekad berjuang untuk mempertahankan kehormatan, membebaskan dari penjajahan yang membelenggu, meskipun mereka harus mempertaruhkan nyawanya. Semua itu dipaparkan dengan jelas dalam puisi itu dari awal hingga akhir. Dan juga ada kesepadanan dalam puisi itu yang dapat mendukung makna, yaitu pada baris ke 4 sampai 6 dengan baris ke 12 sampai 14. Sedangkan pada baris ke 5 sampai 6 merupakan keadaan yang bertentangan dengan baris ke 7 sampai 8.

Di dalam puisi tersebut tidak hanya berbicara tertang perjuangan, namun lebih dari itu puisi ini berbicara mengenai kehidupan. Puisi ini mendorong seorang pejuang untuk membela Negara walaupun nyawa taruhannya. Hal ini dipaparkan di baris ke 19 sampai 20. Selain itu puisi ini juga memberi pelajaran bagi pembaca  bahwasannya hidup itu perlu adanya keputusan untuk yang terbaik buat hidup kita dan orang lain. Tidak hanya sekarang, tapi nanti untuk masa depan kita kelak.


DAFTAR PUSTAKA

Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta; Universitas Gajah Mada press.

Pradapo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yagyakarta; Pustaka Pelajar.

Sastrowardoyo, Subagyo. 1982. Daerah Perbatasan. Jakarta; Balai Pustaka.

http://rirfad.blogspot.com/2009/03/blog-post.html. diakses pada tanggal 24 juni 2010, 15.15 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar